1
(MuBlackMan.com) Sudah terlalu lama para kritikus doktrin America First memutarbalikkan maknanya dan menyamakannya dengan isolasionisme. Kesalahpahaman ini menunjukkan bahwa memprioritaskan kepentingan negara berarti mengabaikan panggung global, namun hal ini jauh dari kenyataan.
America First bukanlah Amerika Sendiri. Sebaliknya, mereka memperjuangkan kebijakan-kebijakan yang menjaga keamanan, kemakmuran, dan nilai-nilai rakyat Amerika, sembari menjalin hubungan konstruktif dengan seluruh dunia. Hal ini mengakui bahwa Amerika yang kuat—yang memiliki perbatasan yang aman, perekonomian yang kuat, dan jumlah penduduk yang berkembang—lebih siap untuk memimpin dan mendukung sekutu-sekutunya.
Pendekatan America First tidak menolak keterlibatan global; sebaliknya, hal ini menggarisbawahi perlunya melindungi kedaulatan AS sambil berpartisipasi aktif dalam urusan internasional. Strategi ini memandang diplomasi sebagai alat penting untuk mengamankan kepentingan Amerika di luar negeri dan mendorong stabilitas global. Diplomasi sejati berfokus pada menjalin kemitraan berdasarkan rasa saling menghormati, bukan aktivisme ideologis atau sikap moral. Ketika stabilitas global tercapai, perekonomian akan berkembang dan tidak ada negara yang mendapatkan keuntungan lebih besar daripada Amerika Serikat.
Jebakan pendekatan aktivis terhadap kebijakan luar negeri terlihat jelas di Hongaria. Di bawah Duta Besar David Pressman, Diplomasi AS terhadap sekutu NATO yang dapat diandalkan ini dilimpahkan ke dalam serangkaian ceramah tentang ideologi progresif. Masa jabatan Pressman ditandai dengan fokus pada memajukan agenda politik dalam negeri AS dibandingkan membangun jembatan atas prioritas bersama seperti keamanan, energi, dan perdagangan. Masa jabatannya sebagai duta besar menjadi contoh nyata kerusakan yang terjadi ketika kepentingan ideologis menutupi kemitraan strategis.
Hongaria, di bawah Perdana Menteri Viktor Orbán, telah menjadi pendukung vokal kedaulatan nasional dan nilai-nilai konservatif—prinsip-prinsip yang diterima oleh banyak orang Amerika. Namun, alih-alih menghormati posisi Hongaria, Pressman sering kali melemahkan pemerintahannya dan menganggapnya sebagai paria karena menentang ortodoksi liberal Barat. Tindakannya mengasingkan para pemimpin dan warga negara Hongaria, menjadikannya simbol kegagalan pemerintahan Biden dalam berinteraksi dengan negara-negara sesuai dengan ketentuan mereka.
Tidak mengherankan jika kepergian Pressman dirayakan di seluruh Hongaria. Bagi masyarakat Hongaria, kepergiannya menandai akhir dari babak yang ditentukan oleh campur tangan budaya dan kritik yang tidak beralasan. Bagi Amerika Serikat, ini merupakan kesempatan untuk merefleksikan kerusakan yang diakibatkan oleh pengutamaan agenda ideologis dibandingkan aliansi strategis.
Pendekatan pemerintahan Biden menunjukkan tren yang lebih luas dalam kebijakan luar negeri AS. Aktivisme sosial dan moral kini semakin menggantikan diplomasi sejati, dengan para duta besar dan utusan yang memprioritaskan agenda domestik dibandingkan kolaborasi internasional. Pendekatan ini melemahkan aliansi, mengasingkan mitra, dan mengurangi kemampuan Amerika untuk secara efektif memproyeksikan kekuatan dan pengaruh.
Perayaan Kepergian Duta Besar Pressman di Hongaria lebih dari sekedar reaksi terhadap satu individu; hal ini melambangkan keinginan yang lebih luas agar Amerika menjadi mitra sejati dan bukan sebagai penegak ideologi.
Reaksi Hongaria terhadap kepergian Pressman menggarisbawahi kebenaran yang lebih luas: negara-negara mencari mitra, bukan tuan. Hongaria, negara yang bangga dengan sejarah, budaya, dan nilai-nilainya sendiri, mengharapkan sekutunya menghormati kedaulatan dan prioritasnya. Seperti banyak negara lainnya, Hongaria mendapati Amerika dalam beberapa tahun terakhir lebih tertarik untuk memberi ceramah daripada mendengarkan.
Untungnya, perubahan sudah di depan mata. Presiden terpilih Donald Trump telah mengisyaratkan kembalinya kebijakan luar negeri yang menghargai rasa hormat, realisme, dan hasil. Pada masa jabatan pertamanya, Trump menunjukkan bahwa America First tidak identik dengan pelepasan diri.
Pemerintahannya memprioritaskan solusi pragmatis yang memajukan kepentingan Amerika sekaligus membina aliansi yang kuat. Mulai dari perjanjian perdamaian bersejarah di Timur Tengah hingga menghadapi agresi ekonomi Tiongkok, kebijakan luar negeri Trump membuktikan bahwa diplomasi yang didasarkan pada rasa saling menghormati dapat memberikan pencapaian besar.
Bagi Eropa Tengah dan Timur, perubahan kebijakan luar negeri AS adalah waktu yang tepat. Hongaria, sekutu setia NATO yang telah menyeimbangkan aliansi Barat dengan jalur konservatifnya, memiliki posisi yang baik untuk menjadi mitra utama Amerika Serikat. Namun, kemitraan ini mengharuskan pemerintahan Amerika yang memperlakukan Hongaria secara setara, bukan sebagai bawahan untuk dikoreksi.
Peralihan dari aktivisme politik kembali ke diplomasi juga akan memberikan pesan yang kuat kepada pihak-pihak yang bermusuhan. Dengan berfokus pada membangun hubungan yang kuat dan saling menghormati dengan sekutu-sekutunya, Amerika Serikat dapat memperkuat tekad kolektif yang diperlukan untuk menghadapi tantangan global. Dengan membuang sikap moral era Biden, AS mempunyai peluang untuk mendapatkan kembali kepercayaan mitra-mitranya, sehingga memperkuat dunia bebas terhadap ancaman otoriter.
Kembalinya diplomasi America First merupakan peluang untuk membangun kembali hubungan internasional. Dengan berkonsentrasi pada tujuan bersama dan menghormati kedaulatan sekutunya, Amerika Serikat dapat memperoleh kembali peran kepemimpinannya di panggung dunia. Kepemimpinan ini harus didasarkan pada kerendahan hati dan pragmatisme, menghindari godaan untuk memaksakan perdebatan politik dalam negeri pada komunitas internasional. Sebaliknya, negara ini harus merangkul kompleksitas diplomasi global.
Presiden terpilih Trump mempunyai peluang untuk memulihkan kredibilitas Amerika dengan menjauhi moralisasi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir dan menerapkan kebijakan luar negeri yang berakar pada rasa hormat dan pragmatisme.
America First tidak berarti berpaling ke dalam; hal ini berarti terlibat dengan dunia dengan cara yang menguntungkan AS dan sekutunya. Dengan berpegang pada prinsip-prinsip diplomasi sejati, Amerika Serikat dapat membangun kembali kepercayaan, memperkuat aliansi, dan memastikan bahwa pengaruh kita di panggung global tetap efektif dan bertahan lama. Dunia siap melihat Amerika kembali memimpin—bukan sebagai aktivis, namun sebagai mitra yang dapat diandalkan. Presiden Terpilih Trump adalah pemimpin yang kita butuhkan untuk mewujudkan hal ini.
Ditulis oleh Bryan Leib
Situs web resmi; https://Twitter.com/BryanLeibFL